Arsip

Archive for the ‘Art Of The Death’ Category

Art Of The Death: The Secret Poetry

Chapter pertama dari real person fiction pertama juga. Cukup pendek dan masih tidak jelas. :p

.

Art Of The Death

.

Genre: Horror/Mystery/Family/Friendship/Romance

Rated: T

Character(s): MaleMitama, Iin, MaleHikari, Are Diangel, MaleManda, Yucchi.

Warning: Real person fiction, Authorfic, OOC (author belum mendalami karakter tokohnya), alur campuran, GJ (pasti), typo (jaga-jaga), contains bloody, violence, and abuse scene—walaupun nggak nyampe rate M.

.

Chapter 1: The Secret Poetry

Normal POV 

Tokyo; Maret 2011

Dunia di sekitarnya seolah berputar. Putar… Putar… Nafasnya sesak. Udara seakan disedot habis dari paru-parunya. Keringat dingin mulai meluncur di pelipisnya. Biji matanya yang berwarna hitam terus berlarian ke kiri dan ke kanan. Sekuat tenaga, ia berusaha menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Tapi yang terjadi setelah itu, ia malah terbatuk-batuk karena tersedak air liurnya sendiri.

Beberapa orang yang berdiri di dekatnya ingin sekali menolong. Tapi ‘tak ada satu pun dari mereka yang mengenal orang itu. Di kota besar seperti Tokyo, sebuah pertolongan dari orang yang ‘tak dikenal bisa terlihat mencurigakan.

Lelaki berumur dua puluh empat tahun itu menahan batuknya menggunakan kedua tangan. Membuat wajahnya memerah. Namun semakin ditahan, ia semakin tidak kuat. Dan saat ia hampir yakin kalau sebentar lagi ia akan mati—

ting!

Pintu lift pun terbuka, menampakkan orang-orang yang menunggu giliran mereka meluncur menuju tujuannya masing-masing. Mereka yang berdiri di luar elevator terkaget-kaget karena Tama menghambur keluar masih dengan terbatuk-batuk. Tapi orang yang menyebabkan kekagetan mereka malah terus berlari tanpa mempedulikan kerumunan manusia yang sedang membicarakannya—masih dengan posisi mereka semula.

.

-Art Of The Death: The Secret Poetry-

.

Tok tok tok!

Tama mengetuk pintu ruangan pamannya dengan tidak sabar. Suara nafasnya yang memburu terdengar keras di lorong sepi lantai empat belas gedung perkantoran itu. Karena seluruh ruangan di lantai paling atas tersebut memang diperuntukkan untuk mereka yang membutuhkan ketenangan dalam bekerja.

Tanpa menunggu lama, pintu yang terbuat dari kayu mahoni itu pun berayun terbuka. Dari baliknya, muncul seraut wajah yang sangat dikenal Tama. “Lama sekali kau…,” sambut sang pemilik—atau lebih tepatnya lagi—penyewa ruangan.

“Tidak usah banyak protes. Paman sudah membuatku masuk ke dalam kotak terkutuk yang sempit itu, jadi, ada apa menyuruhku cepat ke sini?” sentak Tama.

“Kau benar-benar menggunakan lift?” tanya pria yang dipanggil paman itu. Ekspresinya menyiratkan kalau ia tidak percaya akan apa yang dikatakan Tama. Namun melihat wajah merah keponakannya, ia pun mengangguk-angguk takzim.

“Ada apa sebenarnya? Kuharap aku datang ke sini untuk sesuatu yang penting, karena kalau tidak—”

“Iya, iya… Ayo masuk. Kau tidak akan menyesal menaiki lift itu demi datang ke sini sebelum aku berangkat…,” kata paman Tama sambil beranjak memasuki ruangannya. Sedangkan Tama mengikutinya dari belakang untuk selanjutnya duduk di sebuah sofa kulit yang nyaman.

“Berangkat? Ke mana?” Tama bertanya begitu mereka berdua sudah mendaratkan diri dengan aman.

“Korea. Ada seorang remaja Jepang yang bunuh diri di sana. Aku diminta untuk menyelidiki kasus itu,” jawab Sapphirio Hima—sang paman—sambil membuka amplop cokelat yang sudah dipegangnya sejak tadi.

Tama pun mendengus sebelum berkata, “Huh, seperti tidak ada detektif lain saja…”

“Hei hei… Bagaimanapun, pamanmu ini adalah seorang detektif swasta yang sangat terkenal. Berbanggalah sedikit.”

Baru saja Tama akan membalas sekaligus protes karena tidak ditawarkan minum, sang paman berkata kembali, “Dengar, pesawatku tiba sebentar lagi, jadi aku tidak punya banyak waktu.”

“Hhhh… Oke. Lalu?”

“Yang ingin kubicarakan denganmu saat ini, berhubungan dengan kasus itu… Kasus sepuluh tahun yang lalu.”

Glek…

Tama menelan ludah. Tubuhnya tiba-tiba saja menjadi kaku. Bayangan kejadian sepuluh tahun lalu yang juga membuatnya mengidap klaustrophobia membuat perasaannya tidak enak. Oh, betapa ia ingin melupakan kasus itu. Tapi sebenarnya, ia juga masih penasaran akan kejadian mengerikan tersebut. Jadi, ia mencoba menguatkan hati untuk mendengar penjelasan pamannya lebih lanjut.

Setelah melirik sekilas jam tangan Guess-nya, sang detektif yang sedang terburu-buru itu pun melanjutkan, “Seperti yang kau tahu, kasus itu sudah ditutup lima tahun yang lalu. Tapi bukti-bukti yang berkaitan dengannya, sekecil apapun, masih tersimpan dengan baik.”

“Dan?”

“Kemarin, aku memeriksa kembali bukti-bukti tersebut sebelum dihancurkan. Dan aku menemukan ini…,” katanya sambil menyodorkan sebuah kantung plastik berisi secarik kertas kotor yang lusuh.

Tama pun menerima benda tersebut lalu bertanya, “Apa ini?”

“Sebuah puisi… yang aneh. Aku menemukannya terselip di saku bagian dalam jaket milik anak perempuan itu. Sebuah pesan kematian, menurutku. Aku yakin, ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya.”

“Dan kau ingin aku menemukan apa yang tersembunyi itu?” tebak Tama.

“Tepat. Aku sudah membuat alasan untuk menunda penghancuran bukti-bukti lainnya. Tapi tidak untuk waktu yang lama. Jadi, kau harus cepat,” tutur Rio.

“Ayolah, itu pasti puisi biasa. Hanya puisi yang ditulis oleh anak kecil…,” sangkal Tama

“Puisi yang ditulis sesaat sebelum kematiannya?” balas sang detektif.

Tama terdiam. Lalu ia pun menjawab cepat, “Tapi aku tidak—“

“Aku yakin kau bisa… Maksudku, aku yakin kalian bisa,” potong lelaki yang lebih tua.

“Kalian?” tanya Tama heran.

“Kau dan Are,” Rio menjawab mantap. Selanjutnya, ia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya dan menyerahkan benda itu pada Tama.

Mitama, lelaki pemilik mata hitam itu tidak bisa berkata apa-apa melihat sebuah tiket kereta tujuan Kyoto yang sekarang ada di tangannya.

Paman detektif yang melihat perubahan sikap keponakannya pun menepuk bahu Tama sebelum berucap, “Pulanglah. Kau sudah cukup lama tidak pulang ‘kan…”

.

-Art Of The Death: The Secret Poetry-

.

Taniai-mura; April 2001

“Cepatlah, Iin-chan…,” desak seorang anak lelaki. Membuat gadis kecil didepannya mempercepat gerakan tangan mungilnya. Namun hal itu malah menjadikan tulisannya tidak rapi. Apalagi, warna merah dari sumber tulisan itu lalu menghilang—habis.

Anak lelaki yang tadi menyuruh gadis yang dipanggil Iin itu bekerja cepat itu pun mengerang kecil. Selanjutnya, ia mengorek-ngorek luka sobekan dari tangan sesosok jasad yang terbaring kaku di depannya. “Ini…,” katanya sambil menyodorkan luka menganga itu pada sang gadis kecil.

Tanpa buang waktu, Iin yang merupakan adik dari anak lelaki berambut ikal itu pun menyapukan jarinya pada luka itu. Ia menggunakan darah yang melumuri tangannya sebagai tinta. Jemari kecilnya menari-nari di atas kertas lusuh yang mereka dapatkan dengan susah payah.

“Apa kata-kata selanjutnya?” tanya Iin yang baru saja menyelesaikan baris ke sebelas tulisannya.

Ari, sang kakak pun menggumam, “Temukanlah mereka…”

Sret, sret, sret

“Hm…,” Respon Iin setelah mengguratkan kalimat Ari.

“Kenangan-kenangan yang terpendam.”

Sret, sret, sret

“Ya?”

“Dalam balutan hangat bulan nisan.”

Sret, sret, sret

“Lalu?”

“Pada satu dasawarsa. Demi…”

Sret, sret, sret

“Demi?”

“Demi mengungkap segalanya.”

Sret, sret, sret!

Kertas lusuhnya pun terisi penuh dengan tulisan miring dan keriting miliknya. “Selesai?” tanyanya pada Ari.

“Uhm,” jawab sang kakak sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Iin pun meniup kertasnya untuk mengeringkan tinta—darah—yang membuat tulisannya bertambah besar itu. Setelah cukup kering, ia melipat kertas tersebut dan menyimpannya dalam saku bagian dalam jaket hijaunya.  “Baiklah, ayo!” katanya kemudian.

Kedua kakak beradik itu pun berlari menuju bagian belakang rumah yang gelap. Semua cahaya lampu yang ada hanya mampu menemani mereka sampai setengah jam yang lalu. Yang tersedia saat ini hanyalah cahaya redup sang bulan yang masuk dari jendela di samping rumah.

Langkah kaki-kaki kecil itu pun berhenti saat mereka mencapai pintu belakang. Namun ternyata, pintu tersebut terkunci. Dan ketika mereka sedang berusaha membuka paksa satu-satunya jalan keluar bagi mereka itu, sebuah bayangan yang jauh lebih besar dari mereka menutupi keduanya.

Ari dan Iin mengarahkan wajah mereka ke sumber bayangan. Seketika, mata keduanya pun membulat. Sedangkan sang pemilik bayangan menyeringai pada mereka. Tangan Ari melemas, jatuh dari kenop pintu belakang yang terbuat dari kuningan. Dan pintu bercat hitam itu sendiri, pada akhirnya, tidak pernah berhasil mereka buka.

.

-Art Of The Death: The Secret Poetry-

.

Perbatasan Kyoto; Maret 2011

Tuut… Tuuut….

Moshi moshi?”

“Hai, Are…”

“Tama? Hai! Apa kabar? Sudah lama sekali kau tidak pernah menghubungiku. Sombongnya…”

“Bukan begitu. Aku sibuk. Pekerjaanku benar-benar menyita waktu.”

“Ya… Ya… Aku mengerti, Tuan General Manager.”

“Jangan panggil aku begitu, Are. Kau mengingatkanku pada pekerjaan kantor. Membuatku sakit kepala saja…”

“Kalau begitu, kenapa tidak berlibur saja?”

“Itulah… Aku menghubungimu untuk mengabari kalau aku akan pulang.”

“Oh ya? Kapan?”

“Sekarang aku sedang di kereta. Menurut jadwal, aku akan sampai malam ini.”

“Eeeh? Kenapa mendadak sekali?”

“Kenapa? Kau sibuk?”

“Iya. Hari ini pekerjaanku banyak sekali. Tapi aku akan berusaha menyelesaikannya sore ini. Aku akan menjemputmu di stasiun. Beri tahu aku kalau kau sudah dekat ya!”

“Tidak. Jangan menjemputku kalau kau banyak pekerjaan. Biar aku saja yang ke apartment-mu besok.”

“Tidak, tidak. Tidak bisa begitu. Pokoknya, aku akan menjemputmu! Tunggu aku ya! Sekarang aku harus kembali bekerja. Jaa!”

Tuut… Tuut.. Tuut…

Are memutuskan hubungan telepon tanpa menunggu jawaban Tama. Tetapi tidak ada raut kesal sedikit pun yang terpasang di wajah lelaki itu. Ia malah tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Selanjutnya, ia memperhatikan amplop cokelat di pangkuannya. Berpikir dan menimbang-nimbang sebentar, ia pun membuka amplop itu. Yang terlihat kemudian, adalah selembar kertas kotor dan kusut yang terbungkus plastik bening. Perlahan, Tama membaca tulisan yang terukir di atas kertas tersebut dalam hati.

Di pucak segala luka,

di antara rongsokan lupa.

Pada puing-puing masa yang telah lalu,

tempat terhamparnya tanah merah itu.

 .

Di mana matahari memulai perjalanannya,

dibatasi kali hitam dari tanah ‘tak bertuan,

dan terlindungi oleh ibunda Plumeria,

disanalah ia tertanam.

 .

Harta karunku.

Milik kami yang berharga.

Juga milik kalian yang hilang.

 .

Temukanlah mereka;

kenangan-kenangan yang terpendam.

Dalam balutan hangat bulan nisan.

Pada satu dasawarsa,

demi mengungkap segalanya…

 .

                                                                          |to be continue|

.

A/N: Yosh, ini dia chappie satu yang gaje… Daku sendiri yang kebagian banyak peran *narsis*

Soalnya yang ada di masa ‘sekarang’ cuma Tama sama Are sih.. Gomen ne…

Dan, btw, kok genre-nya bergeser ke crime ya? OwO #nggakfokus

Tapi, tetep aja, semoga semuanya suka~~ ❤ ❤ ❤

Art Of The Death: Prologue

Hanya sebuah persembahan sederhana untuk seluruh anggota The Bloodiest Murderers Family.                                                                         

Art Of The Death

Genre: Horror/Mystery/Family/Friendship/Romance

Rated: T

Character(s): MaleMitama, Iin, MaleHikari, Diangel, MaleManda, Yucchi.

Warning: Real person fiction, Authorfic, OOC (author belum mendalami karakter tokohnya), alur campuran, GJ (pasti), typo (jaga-jaga), contains bloody, violence, and abuse scene—walaupun nggak nyampe rate M.

 

Prologue

Normal POV

Taniai-mura; April, 2001.

Crash!

Suara yang asing itu mengagetkan seorang anak perempuan, membuatnya memekik kaget. Gadis kecil itu menggenggam erat tangan kakaknya. Gelap. Ia tidak bisa melihat apa-apa karena sang kakak menutup mata anak perempuan manis berambut panjang yang lebih muda dua tahun darinya itu. Sedangkan ia sendiri menundukkan kepalanya. Menyembunyikan wajahnya dibalik bahu kecil miliknya.

Crat!

Cipratan zat cair kental berwarna merah gelap menampar dinding lemari. Dan di dalam lemari kayu tua yang sudah rapuh itu, dua malaikat kecil meringkuk dengan tubuh gemetar. Dari celah lemari, masuk cahaya lampu yang sinarnya bergerak-gerak, atau lebih tepatnya, sinar itu terhalangi kedua objek di depan lemari—orang tua kakak beradik itu. Cahaya lemah hasil usaha keras sang pelita menarikan adegan yang tidak pantas.

“Ari-oniichan…,” bisik sang adik. Suaranya yang lemah dan bergetar terdengar begitu memilukan.

“Ssst… Jangan berisik, Iin…,” perintah anak lelaki berambut ikal yang dipanggil onii-chan tadi.

“Tapi—“

Jleb!

“—aku takut… Apa yang sedang tou-san dan kaa-san lakukan?” tanya Iin, mengabaikan perintah kakaknya.

“Tidak apa-apa, tidak usah takut. Tou-san hanya sedang bermain dengan kaa-san.”

“Main? Main apa?”

Sreeet

“Eh? Ng… Entahlah. Aku juga tidak tahu.”

“Lalu, kenapa kita harus bersembunyi? Kenapa kita tidak ikut bermain saja?”

“Iin-chan, jangan banyak bertanya. Diamlah. Sebentar lagi mereka akan selesai, lalu mengajak kita untuk bermain bersama. Lebih baik, kau tidur saja. Aku akan membangunkanmu saat giliran bermain kita tiba,” tutur si anak lelaki berambut ikal.

Entah karena kelelahan atau ketakutan, Iin pun tertidur masih dalam pelukan Ari. Nafas sang kakak yang sangat menyayangi adiknya itu juga perlahan-lahan melambat dengan teratur. Tapi ia berusaha untuk tetap terjaga, tujuannya—apalagi kalau bukan—untuk melindungi sang adik.

Sedang matanya yang sayu mengintip dari celah lemari kayu. Suara-suara yang tadi ditimbulkan oleh permainan orang tua mereka sudah tidak ada lagi. Yang tersisa hanyalah sayup-sayup suara besi beradu dengan batu. Mendengarkan suara yang nyaring dan iramanya teratur tersebut, otot-otot tubuh Ari yang kaku pun melemas. Usahanya untuk tetap membuka mata dikalahkan dengan paksa.

Akhirnya, sepasang mata jernih itu pun mengikuti jejak manik sang adik. Yang terpantul di lensa tersebut untuk terakhir kalinya adalah noda darah yang merembes melalui kayu lemari yang lembab. Sedangkan yang tercium di saat-saat terakhir itu adalah bau besi dan amis yang memuakan—tetapi juga manis.

                                                                  

-Art Of The Death: Prologue-

Kyoto; April 2011

Lelaki itu terduduk kaku di atas sebuah motor Honda CBR 600 RR produksi tahun 2003. Dari balik jas hujannya, terlihat garis punggung yang tegak namun agak bergetar. Kedinginan rupanya. Titik-titik air yang dilahirkan gerimis terbaring lemah di atas lapisan kaca helm-nya. Namun Ia bergeming. Tetap duduk di sana, di atas motor yang mesinnya masih menyala.

Senja berlalu begitu cepat. Seolah kecewa karena peringatannya akan kedatangan sang malam jahat diacuhkan begitu saja oleh lelaki beriris hitam itu. Padahal sebenarnya, lelaki itu pun kecewa kala sang senja menyerahkannya pada paduka malam. Namun ia tidak melarikan diri karena terikat pada janjinya pada sahabat. Teman dekat yang memintanya menunggu, berjanji kalau hal itu ‘takkan berlangsung lama.

Tentu saja, ia percaya akan kata-kata sahabatnya. Jadi ia pun menunggu tanpa banyak bertanya. Namun,  sudah seribu lima ratus dua puluh detik berlalu, orang yang ditunggunya itu tidak juga menampakkan diri dari balik pintu apartment-nya. Menghela nafas panjang, ia pun mengutuk dalam hati. Kalau tahu akan seperti ini, tadi ia ikut masuk saja ke dalam. Apalagi, gerimis yang sudah muncul sejak beberapa jam yang lalu itu sudah mulai berubah menjadi hujan deras.

Sesaat kemudian, ia pun mematikan mesin motornya. Tapi baru saja tubuh tingginya tegak berdiri, orang yang ia tunggu sejak tadi malah tiba-tiba muncul dihadapannya. Nafas orang itu cepat dan ‘tak beraturan. Di tangannya terdapat sebuah tas jinjing yang menggembung karena kelebihan muatan. Padahal di punggungnya, sudah bertengger sebuah tas ransel besar.

“Kenapa lama sekali?” tanya ia yang sudah pegal menunggu.

“Maaf, Tama… Tadi aku mencari-cari senter besarku. Aku lupa menyimpannya di mana…” jawab ia yang ditunggu sambil memasang wajah menyesal.

Perasaan kesal lelaki yang dipanggil Tama tadi agak berkurang setelah melihat ekspresi sahabatnya itu, ia malah jadi merasa kasihan. Tetapi setelah melirik motor yang mesinnya baru saja dimatikan, rasa kasihan pada sang teman pun menguap begitu saja. Tadi ia sengaja tidak mematikan mesin karena motornya itu memang sudah tidak bersahabat lagi. Dengan kata lain, sulit untuk dibangkitkan.

Dengan wajah yang memberenggut, ia pun berucap kembali, “Tapi kita ‘kan sudah punya senter. Tidak usah membawa barang yang tidak perlu, Are!”

“Maaf… Aku hanya… Kupikir cahaya dari senter kecil kita tidak akan cukup. Kau ‘kan agak… err… khawatir dengan gelap,” jawab gadis yang lebih pendek dari Tama itu.

Deg!

Hati Tama yang berkepribadian melankolis-pleighmatis langsung terenyuh setelah mendengar alasan yang dikemukakan Are. Walaupun usia mereka terpaut empat tahun, Mitama dan Are memang sudah berteman sejak kecil. Jadi Are—yang bernama lengkap Are Diangel—tahu segalanya tentang Tama, begitupun sebaliknya. Tama yang memang sok’ kuat tidak menjawab lagi. Ia hanya membalikkan tubuhnya untuk kemudian  berusaha menyalakan kembali motor yang sudah lebih dari tujuh tahun menemaninya.

Ajaib. Hanya dengan sekali usaha, mesin motor yang biasanya manja itu langsung menyala. Tanpa buang waktu, Tama pun langsung memasukkan persneling—tiga sekaligus. “Ayo, sudah gelap,” ajaknya pada Are.

Are pun langsung memposisikan tubuhnya di belakang Tama. Ia duduk tenang sambil bersenandung kecil, tahu kalau sahabatnya sudah tidak marah lagi. Tangan kanannya memeluk tas jinjing—yang kelebihan muatan—itu di dadanya, sedangkan tangan kirinya mencengkeram erat ujung jas hujan Tama.

Seakan baru teringat akan gadis di belakangnya yang tidak memakai tameng air hujan sama sekali, Tama pun berucap tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan, “Are, kau tidak pakai jas hujan?”

“Tidak. Hujannya sudah bertransformasi kembali jadi gerimis kok. Lagipula, aku suka hujan,” jawab perempuan berkulit cokelat terang yang lebih muda empat tahun dari sahabatnya itu sambil mengadahkan wajahnya menyambut titik-titik air hujan.

“Tapi bagaimana kalau nanti kau sakit? Aku tidak mau tanggung jawab!” kata Tama yang sebenarnya mengkhawatirkan Are.

“Tenang saja. Aku tidak akan sakit hanya karena hujan. Perhatikan dirimu sendiri saja, kau ‘kan mudah sekali jatuh sakit,” Are menjawab enteng. Memang sih, daya tahan tubuh Are sudah terbukti kuat. Bertolak belakang dengan Tama.

Ah, kalau sudah berhadapan dengan Are, sifat sok’ kuat Tama memang tidak ada gunanya.

Jadi selanjutnya, Tama hanya diam, berkonsentrasi untuk menjalankan motornya. Sedangkan Are sibuk dengan pikirannya sendiri tentang hujan. Tentang mengapa ia menyukai hujan. Dan tentang tujuan perjalanan mereka—yang secara tidak langsung—berhubungan dengan penyebab cintanya pada hujan.

Air hujan yang menyapa wajah Are lama-kelamaan berkurang seiring dengan laju motor mereka yang menjauhi Kyoto. Jalanan yang semula lebar dan dipenuhi oleh berbagai macam kendaraan pun berubah menjadi sempit dan sepi. ‘Tak ada satu pun kendaraan lain di jalan itu, karena saat ini Tama dan Are sudah memasuki distrik Yamagata.

Berada di jalan itu pada waktu seperti ini memang berbahaya. Tapi Tama dan Are tidak punya waktu lagi. Jadi, dengan hanya mengandalkan kehati-hatian ekstra dan doa yang ‘tak henti dirapalkan dalam hati, raungan mesin motor Tama terus membelah kelenggangan malam menuju desa Miyama-cho.

.

 |to be continue|

 .

A/N: Di sini [Mi]tama, [Hik]ari, sama [M]anda jadi laki-laki karena saia nggak mau ini jadi fic shoujo-ai. Hehe… ;;^^a Maaf daku pake kalian sebagai tokoh tanpa ijin. Padahal karakternya aja masih belum paham. Maap banget kalo OOC-nya kelewatan.. m(_ _)m Tapi daku sungguh senang memiliki kalian, jadi setidaknya, ingin memberikan sebuah persembahan kecil walaupun gaje.