Beranda > Art Of The Death > Art Of The Death: Prologue

Art Of The Death: Prologue

Hanya sebuah persembahan sederhana untuk seluruh anggota The Bloodiest Murderers Family.                                                                         

Art Of The Death

Genre: Horror/Mystery/Family/Friendship/Romance

Rated: T

Character(s): MaleMitama, Iin, MaleHikari, Diangel, MaleManda, Yucchi.

Warning: Real person fiction, Authorfic, OOC (author belum mendalami karakter tokohnya), alur campuran, GJ (pasti), typo (jaga-jaga), contains bloody, violence, and abuse scene—walaupun nggak nyampe rate M.

 

Prologue

Normal POV

Taniai-mura; April, 2001.

Crash!

Suara yang asing itu mengagetkan seorang anak perempuan, membuatnya memekik kaget. Gadis kecil itu menggenggam erat tangan kakaknya. Gelap. Ia tidak bisa melihat apa-apa karena sang kakak menutup mata anak perempuan manis berambut panjang yang lebih muda dua tahun darinya itu. Sedangkan ia sendiri menundukkan kepalanya. Menyembunyikan wajahnya dibalik bahu kecil miliknya.

Crat!

Cipratan zat cair kental berwarna merah gelap menampar dinding lemari. Dan di dalam lemari kayu tua yang sudah rapuh itu, dua malaikat kecil meringkuk dengan tubuh gemetar. Dari celah lemari, masuk cahaya lampu yang sinarnya bergerak-gerak, atau lebih tepatnya, sinar itu terhalangi kedua objek di depan lemari—orang tua kakak beradik itu. Cahaya lemah hasil usaha keras sang pelita menarikan adegan yang tidak pantas.

“Ari-oniichan…,” bisik sang adik. Suaranya yang lemah dan bergetar terdengar begitu memilukan.

“Ssst… Jangan berisik, Iin…,” perintah anak lelaki berambut ikal yang dipanggil onii-chan tadi.

“Tapi—“

Jleb!

“—aku takut… Apa yang sedang tou-san dan kaa-san lakukan?” tanya Iin, mengabaikan perintah kakaknya.

“Tidak apa-apa, tidak usah takut. Tou-san hanya sedang bermain dengan kaa-san.”

“Main? Main apa?”

Sreeet

“Eh? Ng… Entahlah. Aku juga tidak tahu.”

“Lalu, kenapa kita harus bersembunyi? Kenapa kita tidak ikut bermain saja?”

“Iin-chan, jangan banyak bertanya. Diamlah. Sebentar lagi mereka akan selesai, lalu mengajak kita untuk bermain bersama. Lebih baik, kau tidur saja. Aku akan membangunkanmu saat giliran bermain kita tiba,” tutur si anak lelaki berambut ikal.

Entah karena kelelahan atau ketakutan, Iin pun tertidur masih dalam pelukan Ari. Nafas sang kakak yang sangat menyayangi adiknya itu juga perlahan-lahan melambat dengan teratur. Tapi ia berusaha untuk tetap terjaga, tujuannya—apalagi kalau bukan—untuk melindungi sang adik.

Sedang matanya yang sayu mengintip dari celah lemari kayu. Suara-suara yang tadi ditimbulkan oleh permainan orang tua mereka sudah tidak ada lagi. Yang tersisa hanyalah sayup-sayup suara besi beradu dengan batu. Mendengarkan suara yang nyaring dan iramanya teratur tersebut, otot-otot tubuh Ari yang kaku pun melemas. Usahanya untuk tetap membuka mata dikalahkan dengan paksa.

Akhirnya, sepasang mata jernih itu pun mengikuti jejak manik sang adik. Yang terpantul di lensa tersebut untuk terakhir kalinya adalah noda darah yang merembes melalui kayu lemari yang lembab. Sedangkan yang tercium di saat-saat terakhir itu adalah bau besi dan amis yang memuakan—tetapi juga manis.

                                                                  

-Art Of The Death: Prologue-

Kyoto; April 2011

Lelaki itu terduduk kaku di atas sebuah motor Honda CBR 600 RR produksi tahun 2003. Dari balik jas hujannya, terlihat garis punggung yang tegak namun agak bergetar. Kedinginan rupanya. Titik-titik air yang dilahirkan gerimis terbaring lemah di atas lapisan kaca helm-nya. Namun Ia bergeming. Tetap duduk di sana, di atas motor yang mesinnya masih menyala.

Senja berlalu begitu cepat. Seolah kecewa karena peringatannya akan kedatangan sang malam jahat diacuhkan begitu saja oleh lelaki beriris hitam itu. Padahal sebenarnya, lelaki itu pun kecewa kala sang senja menyerahkannya pada paduka malam. Namun ia tidak melarikan diri karena terikat pada janjinya pada sahabat. Teman dekat yang memintanya menunggu, berjanji kalau hal itu ‘takkan berlangsung lama.

Tentu saja, ia percaya akan kata-kata sahabatnya. Jadi ia pun menunggu tanpa banyak bertanya. Namun,  sudah seribu lima ratus dua puluh detik berlalu, orang yang ditunggunya itu tidak juga menampakkan diri dari balik pintu apartment-nya. Menghela nafas panjang, ia pun mengutuk dalam hati. Kalau tahu akan seperti ini, tadi ia ikut masuk saja ke dalam. Apalagi, gerimis yang sudah muncul sejak beberapa jam yang lalu itu sudah mulai berubah menjadi hujan deras.

Sesaat kemudian, ia pun mematikan mesin motornya. Tapi baru saja tubuh tingginya tegak berdiri, orang yang ia tunggu sejak tadi malah tiba-tiba muncul dihadapannya. Nafas orang itu cepat dan ‘tak beraturan. Di tangannya terdapat sebuah tas jinjing yang menggembung karena kelebihan muatan. Padahal di punggungnya, sudah bertengger sebuah tas ransel besar.

“Kenapa lama sekali?” tanya ia yang sudah pegal menunggu.

“Maaf, Tama… Tadi aku mencari-cari senter besarku. Aku lupa menyimpannya di mana…” jawab ia yang ditunggu sambil memasang wajah menyesal.

Perasaan kesal lelaki yang dipanggil Tama tadi agak berkurang setelah melihat ekspresi sahabatnya itu, ia malah jadi merasa kasihan. Tetapi setelah melirik motor yang mesinnya baru saja dimatikan, rasa kasihan pada sang teman pun menguap begitu saja. Tadi ia sengaja tidak mematikan mesin karena motornya itu memang sudah tidak bersahabat lagi. Dengan kata lain, sulit untuk dibangkitkan.

Dengan wajah yang memberenggut, ia pun berucap kembali, “Tapi kita ‘kan sudah punya senter. Tidak usah membawa barang yang tidak perlu, Are!”

“Maaf… Aku hanya… Kupikir cahaya dari senter kecil kita tidak akan cukup. Kau ‘kan agak… err… khawatir dengan gelap,” jawab gadis yang lebih pendek dari Tama itu.

Deg!

Hati Tama yang berkepribadian melankolis-pleighmatis langsung terenyuh setelah mendengar alasan yang dikemukakan Are. Walaupun usia mereka terpaut empat tahun, Mitama dan Are memang sudah berteman sejak kecil. Jadi Are—yang bernama lengkap Are Diangel—tahu segalanya tentang Tama, begitupun sebaliknya. Tama yang memang sok’ kuat tidak menjawab lagi. Ia hanya membalikkan tubuhnya untuk kemudian  berusaha menyalakan kembali motor yang sudah lebih dari tujuh tahun menemaninya.

Ajaib. Hanya dengan sekali usaha, mesin motor yang biasanya manja itu langsung menyala. Tanpa buang waktu, Tama pun langsung memasukkan persneling—tiga sekaligus. “Ayo, sudah gelap,” ajaknya pada Are.

Are pun langsung memposisikan tubuhnya di belakang Tama. Ia duduk tenang sambil bersenandung kecil, tahu kalau sahabatnya sudah tidak marah lagi. Tangan kanannya memeluk tas jinjing—yang kelebihan muatan—itu di dadanya, sedangkan tangan kirinya mencengkeram erat ujung jas hujan Tama.

Seakan baru teringat akan gadis di belakangnya yang tidak memakai tameng air hujan sama sekali, Tama pun berucap tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan, “Are, kau tidak pakai jas hujan?”

“Tidak. Hujannya sudah bertransformasi kembali jadi gerimis kok. Lagipula, aku suka hujan,” jawab perempuan berkulit cokelat terang yang lebih muda empat tahun dari sahabatnya itu sambil mengadahkan wajahnya menyambut titik-titik air hujan.

“Tapi bagaimana kalau nanti kau sakit? Aku tidak mau tanggung jawab!” kata Tama yang sebenarnya mengkhawatirkan Are.

“Tenang saja. Aku tidak akan sakit hanya karena hujan. Perhatikan dirimu sendiri saja, kau ‘kan mudah sekali jatuh sakit,” Are menjawab enteng. Memang sih, daya tahan tubuh Are sudah terbukti kuat. Bertolak belakang dengan Tama.

Ah, kalau sudah berhadapan dengan Are, sifat sok’ kuat Tama memang tidak ada gunanya.

Jadi selanjutnya, Tama hanya diam, berkonsentrasi untuk menjalankan motornya. Sedangkan Are sibuk dengan pikirannya sendiri tentang hujan. Tentang mengapa ia menyukai hujan. Dan tentang tujuan perjalanan mereka—yang secara tidak langsung—berhubungan dengan penyebab cintanya pada hujan.

Air hujan yang menyapa wajah Are lama-kelamaan berkurang seiring dengan laju motor mereka yang menjauhi Kyoto. Jalanan yang semula lebar dan dipenuhi oleh berbagai macam kendaraan pun berubah menjadi sempit dan sepi. ‘Tak ada satu pun kendaraan lain di jalan itu, karena saat ini Tama dan Are sudah memasuki distrik Yamagata.

Berada di jalan itu pada waktu seperti ini memang berbahaya. Tapi Tama dan Are tidak punya waktu lagi. Jadi, dengan hanya mengandalkan kehati-hatian ekstra dan doa yang ‘tak henti dirapalkan dalam hati, raungan mesin motor Tama terus membelah kelenggangan malam menuju desa Miyama-cho.

.

 |to be continue|

 .

A/N: Di sini [Mi]tama, [Hik]ari, sama [M]anda jadi laki-laki karena saia nggak mau ini jadi fic shoujo-ai. Hehe… ;;^^a Maaf daku pake kalian sebagai tokoh tanpa ijin. Padahal karakternya aja masih belum paham. Maap banget kalo OOC-nya kelewatan.. m(_ _)m Tapi daku sungguh senang memiliki kalian, jadi setidaknya, ingin memberikan sebuah persembahan kecil walaupun gaje.

  1. Belum ada komentar.
  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar